Tags
Aporishma, Der Wille zur Macht, epistemologi kiri, Epistemologi Nietzsche di tengah zaman modern, epistemology, filsafat ilmu, filsafat perspektivisme, Franz Marc, Friedrich Nietzsche, Karakteristik Epistemologi Nietzsche, Karl Popper, Nietzsche, Profil nietzsche, Robert Musil, Saale, the will to power, Thomas Mann
A. Pendahuluan
Ada satu pertanyaan yang begitu penting untuk diajukan, yaitu : Apakah Nietzsche mempunyai konsep epistemologi. Ini pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita pada umumnya, atau bahkan bagi mereka yang berkutat di dunia filsafat. Memang, Nietzsche menjadi terkenal bukan karena pandangan epistemologinya. Ia lebih di kenal karena pemikirannya dalam bidang filsafat moral atau etika. Pemikiran epistemologinya tidak begitu diminati oleh para epistemolog. Tetapi disinilah Nietzsche mengajukan pandangan kontroversialnya. Pandangan epistemologinya diawali dengan suatu asumsi dasar bahwa kita harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Epistemologi Nietzsche di tengah zaman modern yang ditandai dengan dominasi akal ini tampak aneh dan sulit untuk diterima. Pendobrakan dogmatism (kemapanan) akal dengan konsep The Will to Power (kehendak untuk berkuasa), membuat Nietzsche seperti dalang yang keluar dari pakem. Perbedaan itu sangat tampak sekali dan bahkan berkontradiksi 180 derajat antara filsafat Nietzsche dengan pemikir-pemikir besar yang menjadi kekuatan mainstream saat itu, baik dalam penggunaan bahasa epistemologi maupun materi yang disajikan. Terlepas dari semua itu, epistemologi Nietzsche layak untuk dikaji dan diperbincangkan. Pemikirannya yang tidak bisa diterima oleh zamannya mulai menunjukkan pengaruh dan kekuatannya pada masa sekarang ini. Hal ini dapat dirasakan pada epistemologi Karl Popper dengan falsifikasinya dan juga pada pemikiran kaum eksistensialis. Nuansa Nietzschean dalam epistemologi postmodernisme (pluralism, dekonstruksi, relativitas) sangat terasa sekali.
B. Profil Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche (lahir di Röcken dekat Lützen, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun) adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang ateis. Nietzsche dilahirkan di Kota Rocken di wilayah Sachsen. Orang tuanya adalah pendeta Luther Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) dan istrinya Franziska, dengan nama lajang Oehler (1826-1897). Ia diberi nama untuk menghormati Kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempuannya Elisabeth dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adiknya Ludwig Joseph (1848-1859), keluarga ini pindah ke Naumburg dekat Saale.
Filsafat Nietzsche adalah filsafat yang memandang kebenaran atau dikenal dengan filsafat perspektivisme. Ia mengkritik kebudayaan Barat pada zamannya (Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigm kehidupan setelah kematian). Nietzsche juga dikenal sebagai filsuf seniman dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk mentransformasikan tragedi hidup.
Filsafat Nietzsche tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Filsafatnya adalah pandangan hidupnya. Ada nilai lebih membaca karya Nietzsche yang tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan tentang filsafat, namun lebih jauh dari itu, yakni pengetahuan tentang hidup. Ia mempunyai arti penting dalam sejarah filsafat. Nilai historis Nietzsche sangat besar. Pemikirannya yang meloncat dan meramalkan masa depan sangatlah mengagumkan. Ia adalah seorang filsuf bagi para filsuf, tetapi ia lebih besar dari para filsuf lainnya, karena ia juga menjadi filsuf bagi orang kebanyakan (Hollingdale, 1968:10-11). Filsafat Nietzsche seperti samudra yang menampung air dari berbagai aliran sungai. Ada warna realism, empirisme, skeptime, radikalisme, positivism, vitalisme dan pragmatism. Dari berbagai warna aliran tersebut di tangan Nietzsche melebur menjadi filsafat nihilism, dimana warna berbagai aliran tersebut sulit untuk dilihat wujudnya secara terpisah.
C. Karakteristik Epistemologi Nietzsche
Mempelajari epistemology Nietzsche tanpa menelaah keseluruhan filsafatnya seperti mengambil mozaik terpisah dari keseluruhannya, sehingga akan tampak aneh dan tidak bermakna. Ia tidak membahas epistemologi sebagai cabang filsafat tersendiri sebagaimana filsuf-filsuf lainnya. Epistemologi merupakan sebagian kecil dari konsep The Will to Power. Pada tulisan ini akan membahas masalah pokok yang mendasari corak epistemologi Nietzsche.
- Landasan Ontologi
Ontologi merupakan sebuah konsep dasar yang menopang suatu sistem filsafat. Dalam bidang ontologi Nietzsche menolak terminologi Immanuel Kant yang melihat kenyataan dalam dua dikotomi Nomena dan Fenomena. Fenomena hanyalah sekedar gejala yang tampak di depan subjek. Ia bukanlah kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya ada dibalik fenomena. Kenyataan sejati merupakan Das Ding An Sich (hal itu sendiri) ada di balik bendanya. Nomenalah yang hakiki.
Dalam terminologi Nietzsche, dikotomi semacam ini tidak berlaku, baginya, kenyataan itu adalah apa yang nyata yang dapat ditangkap subjek. Objek atau benda itulah kenyataannya. Inilah kenyataan sejati yang tidak dapat disangkal adanya. Tidak ada sesuatu di balik bendanya. Das Ding An Sich hanyalah lelucon sebagai suatu ajaran yang masih dikuasai oleh dogma. Sebagaimana dipercaya akal manusia tidak akan mampu mengetahui nomena. Sesuatu yang tidak dapat ditangkap, diketahui dan hanya bisa diandaikan adanya yang tidak layak untuk dipercaya. Kenyataan adalah apa yang ada di dunia ini, yang nyata, faktual, yang dapat ditangkap subjek. Ajaran Das Ding An Sich ini menempatkan dan membuat hidup manusia menjadi kurang bermakna. Dunia yang adanya nun jauh disana (yang hanya diandaikan bukan fakta) lebih dihargai.
Konsep ontologi Nietzsche ini mempunyai implikasi dalam ajaran tentang manusia. Manusia untuk menjadi manusia menghadirkan diri lewat budaya. Pandangan tentang manusia dapat dikatakan cenderung ke monisme, dimana hakikat manusia itu adalah tubuhnya. Yang dipandang manusia itu adalah yang bereksistensi, sedangkan eksistensi itu terjadi jika ada tubuh. Hal ini sangat jelas diungkapkan Zarathustra :
Aku adalah tubuh dan “jiwa” demikian dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak?
Tapi mereka telah bangun, dan mereka yang tahu berkata : “aku adalah tubuh seluruhnya. Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh” (Nietzsche, 1969: 146)
Tubuh adalah sebuah akal besar, kemajemukan yang bermakna satu, perang dan damai, kawanan domba sekaligus gembalanya.
“Akal kecilmu adalah alat dari tubuhmu itu, saudaraku, yang kau sebut “ruh” itu adalah alat dari tubuh. Sebuah alat dan mainan kecil dari akal besar”.
Dari pandangan yang berat sebelah dengan dominasi tubuh atas jiwa semacam ini, tidak mengherankan jika ia memberi perhatian dan penghargaan pada ilmu biologi.
- The Will to Power sebagai Titik Pusat Ajarannya
Karya Der Wille zur Macht (The will to power) merupakan magnum opus Nieetzsche. Inti semua ajarannya terdapat disini. Segala konsep dan masalah yang diperbncangkan selalu bermuara pada kehendak untuk berkuasa. Sebagai mana diungkapkan oleh Walter Kaufmann :
Konsepsi kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma-nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan mengatakan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup. (Dalam karyanya kemudian ia menganggapnya telah menembus sampai pada kehendak tak hidup) (Kaufmann, 1967: 510)
Pengetahuan sebagai salah satu dari sekian banyak kegiatan manusia tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konsep ini. Nietzsche melihat pengetahuan itu dalam kerangka yang lebih luas dan menyeluruh dalam rangka memahami manusia secara utuh. Ia memasukkan unsur yang tidak dibahas dengan pemikiran epistemologi sebelumnya, yaitu unsur motif kegiatan mengetahui. Menghubungkan kehendak untuk berkuasa dengan pengetahuan merupakan hal yang aneh apabila dibahas dalam kerangka pengetahuan (epistemologi) manusia secara sempit.
Konsepnya akan tampak jelas jika dipahami dalam kerangka kegiatan (pengetahuan) manusia yang lebih luas. Justru ia melangkah lebih jauh dari para pendahulunya, dimana ia sudah menginjakkan kaki pada wilayah yang sekarang ini disebut sebagai Filsafat Ilmu yang pada masa itu belum mendapatkan perhatian. Inilah yang merupakan ciri dari pemikiran Nietzsche, dimana pemikirannya selalu mendahului satu atau dua tingkat pada sesudahnya. Epistemologinya jelas sekali merupakan kritik terhadap epistemologi tradisional, epistemologi sempit.
- Vitalisme dan Nihilisme
Siapapun tidak menyangkal bahwa Nietzsche adalah seorang vitalis. Namun, vitalismenya berbeda dengan vitalisme Henry Bergson dimana elan vital dipahami sebagai daya hidup, unsur yang merupakan inti hidup. Vitalisme pada Nietzsche lebih bersifat aktif. Vitalisme dalam pengertian ini mengandung makna semangat hidup. Hidup itu sangat berharga. Kecintaan yang luar biasa terhadap hidup bukan berarti takut untuk mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak boleh menyerah. Manusia harus berani berkata ya untuk setiap tantangan dan bahaya. Dari tantangan dan bahaya inilah manusia akan menjadi besar.
Manusia itu agung asal mau menjulangkan semangat hidup dan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk itu, manusia harus bebas dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai tradisional yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Cinta kehidupan berarti harus sanggup menangggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai, ia selalu dalam proses menjadi. Manusia adalah jembatan antara binatang dan manusia agung. Ke manapun ia menoleh, ia akan menatap ancaman dan bahaya (Fuad Hasan, 1989: 62).
Aktivitas pemikiran harus diletakkan pada landasan keberanian, yang berasal dari keinginan untuk terus maju dan menantang penghalang. Manusia bebas itu harus terus berkreasi, mencipta.Dalam berkreasi ini harus menelorkan hal-hal yang benar-benar baru, orisinal, walalupun harus bertentangan dengan pemikiran pada masa itu. Di sinilah Nietzsche sampai pada Nihilisme. Nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berkreasi sehungga kreasi itu benar-benar bermakna. Orang harus berani menolak nilai-nilai dan pemikiran yang ada sebelumnya. Teori-teori, hukum-hukum, pengetahuan yang diciptakan harus benar-benar dilepaskan dari konsep sebelumnya. Teori-teori yang muncuil tidak akan bermakna jika hanya mengukuhkan atau mengukur teori yang sudah ada. Bahkan, teori yang sudah besar dan mapan pun harus dilepaskan.
Kritik dan penolakan terhadapa epistemologi tradisional yang berusaha memperoleh kebenaran bukan semata-mata karena semangat nihilismenya. Selama teori yang ada sebelumnya selalu dianggap benar, maka tidak akan muncul pengetahuan yang baru. Dengan sendirinya tidak akan ada kemajuan. Di sinilah Nietzsche mengajarkan suatu keterbukaan ilmu yang pada abad ke-20 ini diteruskan oleh Karl R. Popper.
- Perang Melawan Kemapanan Akal
Akal dalam bahasa diibaratkan sekedar sebagai seorang tua yang dungu.
Saya kuatir tidak bisa melepaskan diri dari Tuhan hanya karena tata bahasa (Nietzsche, 1968:35).
……Tetapi telah lama saya menyatakan perang terhadap optimisme kemampuan akan (Nietzsche, 1968:535).
Roh, sesuatu yang berpikir, yang mungkin walaupun absolut. Roh murni konsepsi ini merupakan turunan kedua dari introspeksi palsu yang mempercayai tindakan berpikir: Pertama sebuah tindakan yang tidak terjadi dibayangkan “berpikir” dan Kedua subjek substratum di mana setiap tindakan berpikir dan bukan tindakan lain memiliki asal-usulnya baik perbuatan maupun pelaku yang merupakan fiksi (Nietzsche, 1968: 477).
- Problem Kebenaran
Kebenaran adalah semacam kesalahan , dimana tanpa kebenaran spesies makhluk hidup tentu tidak dapat hidup (Nietzsche, 1968: 493).
“Konsep Kebenaran” adalah sesuatu yang tidak bermakna. Seluruh wilayah ‘benar salahnya’ hanya digunakan untuk hubungan-hubungan, bukan ‘pada dirinya sendiri’. Tidak ada ‘esensi pada dirinya’ (yang membentuk esensi hanyalah hubungan-hubungan), demikian juga tidak ada pengetahuan pada dirinya sendiri.
Aporishma 533 :
Kebenaran dari sudut pandang perasaan adalah sesuatu yang secara kuat menggugah perasaan (ego).
Dari sudut pandang pikiran , kebenaran adalah sesuatu yang memberikan perasaan paling agung akan kekuatan.
Dari sudut sentuhan, penglihatan dan pendengaran kebenaran adalah sesuatu yang mengandung resistensi paling besar (Nietzsche, 1968: 533)
Kebenaran menurut cara berpikir saya tidak haru mengacu pada antitesis kekeliruan, tetapi dalam hal-hal yang paling mendasar hanyalah merupakan hubungan antara berbagai macam kekeliruan. Mungkin kekeliruan yang satu dianggap lebih tua, lebih mendalam dari yang lain, bahkan tidak dapat diganggu gugat lagi seperti halnya suatu entitas dari spesies kita, yang tidak dapat hidup tanpanya. Sementara itu kekeliruan lain tidak memaksa kita untuk menjadikannya sebagai syarat hidup, tetapi jika dibandingkan dengan tiran-tiran seperti ini pasti akan tersisih dan ditolak (Nietzsche, 1968: 535).
- Keputuasan Benar-Salah
Baiklah! Tetapi jika aku belum “mengetahui” apakah ada pengetahuan atau mungkinkah ada pengetahuan, aku tidak dapat mengajukan pertanyaan secara beralasan “apa itu pengetahuan?”. Sebagaimana diyakini Kant dalam fakta pengetahuan: apa yang diinginkan Kant adalah suatu kenaifan: pengetahuan tentang pengetahuan! (Nietzsche, 1968: 530).
Bukan persoalan seberapa kuat benda diyakini. Kekuatan keyakinan bukan pada kriteria kebenaran. Tetapi apa itu kebenaran? Mungkin sebentuk keyakinan yang telah menjadi kondisi hidup? Dalam kasus tersebut, untuk meyakinkan, kekuatan bisa menjadi kriteria, seperti halnya kasualitas (Aporishma 531, Nietzsche, 1968; 494-530).
- Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu
- Santoso , L.,2012, Epistemologi Kiri, AR-Ruzz Media, Jakarta. Hlm 51-53
- Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 172-179
- Ibid
- https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche
by : Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Epistemologi Kiri, AR-Ruzz Media, Jakarta. Hlm 51-59
Daftar Pustaka :
- Alfons Taryadi, 1989, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl to Nietzsche, Cambridge University Press, Cambridge.
- Nietzsche, Friedrich, 1968, Twilight of Idols and The Anti-Christ, translated by R.J. Hollingdale, Pinguin Books, Middlesex.
- _______________, 1968, The Will to Power, translated by Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale, Vintae Books, New York.
- _______________, 1969, Portable Nietzsche, Selected by Walter Kaufmann, Viking Press, New York.
- _______________, 2000, Thus Spoke Zarathustra, terjemahan Sudarmaji dan Ahmad Santoso, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Sunardi, ST., 1999, Nietzsche, LkiS, Yogyakarta.
- Verhaak, C. Dan Haryono Imam, 1989, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah R. Popper, Gramedia, Jakarta.
- Bertens, Kees, 1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta.
- Cadello, James, P., Nietzsche’s Radical Hermeneutical Epistemology, dalam International Studies of Philosophy XXIII.2, Scholar Press, Atlanta
- Fuad Hasan, 1989, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta.
- Hardono Hadi, 1994, Epistemologi Filsafat Pengetahuan Kenneth F. Gallangher, Kanisius, Yogyakarta.
- Kaufmaan, Walter, 1967, ‘Nietzsche, Friedrich’ dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edward, Vol. V, Collier Macmillan, London.
- Magnus, Berd dan Kathleen M. Higgins, 1996, The Cambridge Companison Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Gramedia, Jakarta.